Menalar Gerakan PMKRI di Era Post-Truth
Apa yang ada di dalam benak sahabat pembaca, khususnya para aktivis PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), yang hidup di tengah masyarakat yang ditandai dengan banyak penderitaan seperti kemiskinan, diskriminasi, kesenjangan sosial dan ekonomi serta peminggiran? Ada yang bertanya, masih mungkinkah visi-misi perhimpunan memiliki daya menjawab tantangan di segala dimensi kehidupan masyarakat? Atau masihkah visi dan misi organisasi menjadi orientasi gerakan perhimpunan atau sebatas slogan semata.
Ataukah visi-misi perhimpunan konsisten serius diarahkan kepada kaum tertindas? Sebab, beberapa tahun terakhir nampak tumpul gerakan aktivis PMKRI dalam menjawab kebutuhan kaum tertindas tersebut bahkan lebih parah lagi kita enggan bersentuhan dengan mereka. Apa penyebabnya?
Visi-misi dari sebuah organisasi merupakan ideologi bagi setiap anggotanya, ideologi menjadi penuntun dan titik orientasinya. Disebut ideologi karena ada perspektif yang berkoherensi dan komprehensif. Begitu pula dalam organisasi seperti PMKRI. PMKRI memiliki visi: terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati, sedangkan misinya adalah berjuang dengan terlibat dan berpihak kepada kaum tertindas melalui kaderisasi intelektual populis yang dijiwai nilai-nilai ke-Katolikan untuk mewujudkan keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati.
Secara gamblang, penulis merasa perlu menekankan dua (2) kalimat dari isi visi-misi tersebut yang menjadi titik point pembahasan. Pertama, ‘melalui kaderisasi intelektual populis’ artinya melalui pendidikan dan pembinaan yang berpihak pada masyarakat kecil. Secara baku, PMKRI memiliki tiga (3) tahap pendididikan dan pembinaan yakni pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan dan pembinaan anggota perlu diarahkan pada konteks masyarakat kecil.
Selain pendidikan dan pembinaan tersebut, ada nilai-nilai vital PMKRI seperti tiga benang merah (kristianitas-intelektulitas-fraternitas) yang terus mengkristal pada seorang kader, supaya senantiasa menjadi kompas penuntun pada setiap aktivitasnya sekaligus ketika bersentuhan dengan realitas kehidupan masyarakat.
Tiga benang merah PMKRI, sebagai nilai pengikat dan penuntun bagi anggota organisasi, juga menjadi nilai yang terbuka bagi orang lain diluar organisasi karena nilai-nilai PMKRI di atas sangat terbuka, logis dan tak terbatas. Maka, tidak menutup kemungkinan orang non-PMKRI pun bahkan dapat belajar sekaligus mempraktikannya. Ini yang membuktikan bagaimana nilai-nilai PMKRI yang masih berdiri kokoh sekaligus masih relevan dengan segala konteks zaman dan generasi.
Orientasi Gerakan PMKRI terhadap Kaum Tertindas
Dalam agenda-agenda nasional PMKRI, kita menemukan berbagai macam karakter dan ciri khas cabang baik secara fisik maupun nonfisik. Ini merupakan sumber daya menjadi kekayaan organisasi yang harus dirawat. Seorang kader atau aktivis PMKRI di setiap cabang dididik dan dibina dengan memperhatikan kultur dan kondisi geografi daerahnya dalam satu garis perjuangan yakni berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas. Ini yang menjadi point ke dua. Oleh karena itu kita dihadapkan langsung pada pertanyaan yang serius: siapakah kaum tertindas yang dimaksud dan Bagaimana PMKRI secara organisasi memandang kaum tertindas tersebut sebagai pihak yang harus diperjuangkan?
Prinsip segala sesuatu berubah. Tidak ada yang absolut atau tetap. Silogisme sederhana logika dari proposisi bahwa “A” sama dengan “A”. Tetapi pada kenyataannya “A” tidak sama dengan “A”. Sebagai contoh Kaum tertindas tidak akan selalu menjadi kaum tertindas. Atau contoh lain ketika zaman komunal primitif berganti zaman perbudakan, berubah feodalisme kemudian menjadi kapitalisme. Ini semua nyata apabila kita menempatkan pemikiran dialektis-materialis terhadapnya.
Sehingga seorang aktivis PMKRI cukup mengajukan pertanyaan, apa penyebab pemisahan antar kaum tertindas sebagai kaum mayoritas masyarakat dengan kaum penindas sebagai kelompok minoritas masyarakat? Bagaimana cara kerjanya dan apa yang diproduksi?
Ini akan menghantar seorang petualangan yang kritis pada pintu kemerdekaan rakyat kaum tertindas. Seperti halnya visi dan misi dapat berubah apabila tak ada lagi kaum tertindas. Mengambil langkah seperti memerdekakan kaum tertindas tidak hanya sekedar merubah frasa terhadapnya tapi berjuang dengan terlibat dan berpihak kepadanya dari belenggu sistem penindasan. Setiap aktivis PMKRI perlu mencari tahu, apa penyebabnya, dan bagaimana seseorang atau sekelompok orang itu terjebak menjadi kaum tertindas, sebab tak ada seorangpun yang lahir mau memilih menjadi kaum tertindas.
PMKRI sebagai Kontrol Sosial
Penguatan prinsip keberpihakan akan membantu yang lemah dan merawat pergerakan. Kita tidak hanya berbicara sambil menggerutu mengenai pembebasan umat tertindas dibalik meja diskusi. Kita tak dapat menghasilkan suatu perspektif dari balik gedung sekretariat yang megah. Perspektif hanya diperoleh lalu diasah melalui pengalaman mengalami langsung dan meleburkan diri dengan mereka yang tertindas.
Masyarakat tertindas itu seperti petani, nelayan, kaum miskin kota (Pedagang kaki lima, pemungut sampah dan lain sebagainya), kaum muda dan mahasiswa/pelajar yang tidak memiliki kepastian akan masa depannya, terlebih kaum buruh yang telah menciptakan kekayaan negeri ini dari balik kedua tangannya namun tak dapat menikmati hasil produksinya dan selanjutnya buruh yang tak mau menyebut dirinya buruh seperti artis, dosen/guru, dan lain sebagainya). Ini adalah kelompok mayoritas masyarakat yang setiap hari diperas dan dihisap keringatnya.
Hal di atas tidak didapat dari dunia maya. Karena itu kita tidak perlu terlalu banyak mengonsumsi berita di media sosial apalagi menjadikannya sebagai referensi ilmiah untuk memperkut perspektif kita. Media sosial adalah tempat kita beradu argumen bukan tempat curahan hati karena kondisi asmara sedang terganggu misalnya. Karena itu, berhentilah menulis kegalauan di media sosial. Dunia maya adalah dunia yang telah didesain sedemikian rupa oleh penguasa, tak hanya bersifat menghibur tapi ada agenda indoktrinasi yang telah berlangsung cukup lama.
Lebih jauh lagi dunia maya saat ini ibaratnya konsep utopia seperti yang ditulis oleh Thomas More yang menimbulkan halusinasi akan tempat yang indah yang sebetulnya adalah kebohongan yang terselubung dengan daya doktrinasi. Berhentilah mengkonsumsi doktrinasi. Perbanyak literatur dalam kehidupan keluarga, lingkungan kost, kampus dan lingkungan sosial masyarakat. Kader PMKRI harus menjadi agen of change sekaligus agen of control. Ini tuntutan sejarah.
Ilmu yang telah didapat baik dalam organisasi maupun lingkungan pendidikan harus diamalkan kepada masyarakat. Pengetahuan harus digali dari sumber penderitaan kaum tertindas dengan cara meleburkan diri sekaligus bersentuhan dengan kehidupan sosial mereka. sehingga dapat membentuk perspektif baru. Sebab kesadaran sejak awal adalah produksi sosial dan tetap demikian selama manusia eksis. Kondisi sosial mempengaruhi kondisi riset ilmiah seseorang. Ilmu yang telah didapat menjadi mubazir ketika tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial kehidupan mereka hanya karena tuntutan akademik semata.
Bukan hal yang baru pula, teori yang didapat di kampus kadang tak berkorelasi dengan kondisi sosial masyarakat. Sehingga setiap teori perlu diuji sejauh mana tingkat relevansinya dengan praksisnya dalam masyarakat. Disisi lain tuntutan akademik sering membatalkan pemikiran yang bebas, liar dan mandiri. Ini akibat kultur belajar yang tidak memberi ruang bebas berpikir dalam ruang kelas. Situasi ini membelenggu mahasiswa dan perlahan membangun tembok kreativitas, menghalangi sensasi keakraban berdialektika antar pengajar dan sebaliknya yang terjadi dalam atau di luar ruang kelas.
Kembali pada Kebenaran Menghidupi Ideologi Organisasi
Mengapa disebut aktivis PMKRI? Apa yang membedakannya dari mahasiswa biasa? Jawabanya ada dalam 6 identitas kader seperti dibawah ini. Pada dasarnya pembinaan di PMKRI ditujukan untuk membantu membentuk para anggota PMKRI dalam mencapai keunggulan pribadi dengan integritas pribadi yang utuh. Integritas pribadi yang utuh, yang hendak dicapai dapat dicirikan oleh Sensus Chatolicus, Semangat Man for Others, Sensus Hominis, Pribadi yang menjadi teladan, Universalitas, Magis Semper.
Semua orang dapat menjadi mahasiswa namun tidak semua mahasiswa dapat menjadi aktivis. Kesadaran yang tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat hanya dimiliki oleh seorang aktivis gerakan. Sedangkan mahasiswa belum tentu di zaman ini. Namun ini tidak akan berlangsung lama jika kondisi sosial memungkinkan.
Disisi lain, menjadi seorang aktivis PMKRI berarti memberikan sebagian waktunya untuk memperhatikan nasib orang banyak dan bangsa selain kamu. Siap-siap bagi cowo/cewe yang ingin memacarinya. Karena banyak kata-kata asing terdengar. Kalau sedang pacaran sediakan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Bangsa saja dipikirin apalagi kamu.
Menjadi seorang aktivis PMKRI harus melatih dirinya dan terus mengasah keberanian serta ketahanan semangatnya laksana batu karang. Militansinya akan bertumbuh produktif bila dituntun dengan perspektif yang komprehensif. Bukan aktivis PMKRI yang fashionable atau heroisme (megang toa lalu dipotret dengan baik atau ‘merawat’ atribut tapi lupa merawat akal).
Mereka yang tidak final mengambil suatu perspektif yang revolusioner akan bermain di wilayah pragmatis. Inilah ‘hantu’ yang sedang membayangi diri kita. Seringkali aktivis PMKRI mengidap Syndrom Demora sebelum mengalami demoralisasi. Sadarlah kita dan kembalilah kejalan yang benar. Itu perintah bible.
Pro ecclesia et patria!!!
Penulis: Okto Nahak