
Ket. Mayo De Quirino (Foto. Dok. Pribadi)
Tanpa melalui proses analisis yang mendalam, manusia tahu bahwa mendung bertanda hujan akan turun. Ini adalah pengetahuan yang muncul melalui pengalaman. Kita mengetahuinya karena pernah melihat fenomena yang sama sebelumnya. Artinya, ada “tanda-tanda” (pola tertentu) yang sudah kita rekam dalam memori, lalu ketika tanda-tanda itu muncul, kita akan mengambil kesimpulan secara spontan. Dalam konteks ini, jika “mendung,” maka kesimpulannya adalah hujan akan turun. Mendung adalah “tanda”.
Namun, bagi seorang yang haus akan pengetahuan, ia tidak berhenti di situ. Dia akan mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam: Mengapa ketika mendung hujan akan turun? Bagaimana itu bisa terjadi? Tentunya, jawaban dari pertanyaan ini sudah kita pelajari sejak di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (penjelasan ilmiah). Singkatnya begini: Mendung terjadi ketika uap air mengembun menjadi awan, dan ketika awan jenuh, air dalam awan bergabung dan jatuh sebagai hujan.
Dalam kasus di atas, kita dapat melihat bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan cara yang berbeda. Di satu sisi, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman sebelumnya (mengenal tanda-tanda), di sisi lain, pengetahuan dicapai melalui observasi dan penelitian yang serius (penjelasan ilmiah).
Dalam konteks ini, pengetahuan berdasarkan pengalaman adalah landasan dari penelitian ilmiah tentang hujan. Atau bisa juga dalam upaya untuk memastikan bahwa mendung dan hujan itu sebagai sebab-akibat. Mendung menyebabkan hujan. Siapa tahu mendung adalah fenomena yang terpisah dari hujan (mungkin begitu pikiran awalnya).
Artinya, kadang dalam konteks tertentu, kita tidak mesti mengetahui penjelasan ilmiah dari suatu fenomena. Ada dan tidaknya penjelasan ilmiah tentang hujan tidak mengubah realitas bahwa setelah mendung, hujan akan turun (walau kadang mendung tidak mesti hujan).
Dengan kata lain, kita tidak perlu menunggu penjelasan ilmiah tentang hujan untuk mengambil kesimpulan bahwa mendung mengakibatkan hujan, karena alam sudah memberikan pengetahuan kepada manusia (walaupun terbatas). Seperti yang Thomas Aquinas sampaikan bahwa alam sudah ada dengan keteraturannya, Manusia hanya menemukan.
Bayangkan, kalau kita menunggu penjelasan ilmiah tentang hujan dimana penjelasan ilmiah yang akurat baru ada sekitar abad ke-20 dan seterusnya butuh waktu yang panjang untuk mencapainya. Dalam kehidupan praktis, sebelum ada penjelasan ilmiah, mau tidak mau kita harus percaya bahwa mendung bertanda hujan. Perlu diingat bahwa kesimpulan itu tidak dibuat sesuka hati, tapi karena kita mengenal pola (tanda-tanda) yang konsisten: bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan, ketika mendung akan turun hujan.
Namun, tidak berarti bahwa penjelasan ilmiah tidak penting dan tidak perlu. Dalam keterbatasan informasi, secara refleks sebagai manusia, kita akan berupaya untuk mencari penjelasan pasti tentang suatu fenomena (penasaran).
Tanda-tanda dalam konteks pacaran
Kenapa harus konteks pacaran? Tidak ada motivasi lain, hanya sekadar supaya kamu merasa “gua banget,” atau, seperti orang Manggarai bilang dengan dialek khasnya: “sadik e ae.” Seperti yang saya tulis sebelumnya, kekhasan setiap daerah baik bahasa maupun dialek—tidak boleh dipatahkan dengan istilah “kampungan.”
Mari kita lanjut! Misalnya, dalam hubungan pacaran, kita bisa saja membaca tanda-tanda bahwa pasangan kita sedang mendua: mulai ada perubahan perilaku, pola komunikasi, penampilan, dan lain-lain. Makin lama, perubahan makin drastis. Tidak boleh pegang HP-nya (“Ini kan privasi aku”), mulai cari-cari kesalahan cara kamu ketawa pun bisa dijadikan masalah, apalagi gas alami dari perutmu yang keluar dengan sunyi dan penuh kehangatan (itu lebih berat lagi masalahnya). Pokoknya, banyak tingkah aneh yang dirasakan.
Sebelum kenyataan tiba bahwa dugaan kamu benar, yaitu pacar kamu selingkuh kamu tidak boleh secara pasif menunggu kenyataan itu. Kamu juga tidak boleh hanya berhenti di tanda-tanda: makan, tidur, goyang TikTok, tidak peduli dengan tanda-tanda… lalu tiba-tiba pacar kamu sudah nikah, baru minta tolong ke Tuhan. Tapi kamu harus secara aktif mencari tahu kenapa tanda-tanda itu ada.
Misalnya, dengan cara mencari pengalaman-pengalaman perselingkuhan sebelumnya, mempelajari psikologi pasanganmu, berdiskusi dengan teman, dan lain-lain. tapi jangan cari referensi dari prediksi zodiak. Itu menyesatkan.
Lalu, untuk mengetahui kebenaran dari tanda-tanda itu, apakah kita harus menunggu sampai kita menyaksikan sendiri bahwa dia selingkuh (terindra)?
Aliran filsafat empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan dan kebenaran berasal dari pengalaman indrawi. Empirisme dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, yang menekankan bahwa pengetahuan bermula dari pengalaman indrawi. Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh filsuf-filsuf lain seperti John Locke dan David Hume.
Kemudian, empirisme mempengaruhi positivisme hukum. Itu sebabnya, ketika berhadapan dengan hukum, kita akan selalu diminta bukti dan saksi. Karena kebenaran menurut hukum haruslah yang bersifat indrawi (dilihat, didengar, dibaca).
Namun, kerap kali kita dihadapkan pada pilihan yang membingungkan. Di satu sisi, kita belum bisa membuktikan secara indrawi; di sisi lain, tanda-tanda semakin membrutal semakin tidak peduli, semakin emosional, sampai melakukan kekerasan fisik.
Sebaliknya, filsafat rasionalisme berpandangan bahwa pengetahuan sejati berasal dari akal budi , bukan semata-mata dari pengalaman indrawi. Gagasan ini berakar pada pemikiran Plato, yang meyakini bahwa dunia indra bisa menipu dan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai melalui penggunaan akal. Bagi Plato, dunia yang tampak hanyalah bayangan dari dunia ide yang lebih nyata dan abadi.
Pandangan ini menjadi fondasi bagi tradisi rasionalisme, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf modern. Salah satu tokoh utamanya adalah Rene Descartes, yang menghidupkan kembali semangat Plato dalam kerangka berpikir modern. Dengan ungkapannya yang terkenal, “aku berpikir maka aku ada”, Descartes menempatkan rasio sebagai titik awal dan dasar dari segala pengetahuan. Bagi Descartes, sebagaimana bagi Plato, hanya akal budi yang dapat memberi kepastian dan membawa kita pada kebenaran.
Lalu, secara formal muncul istilah rasionalitas. Rasionalitas bukan lagi bicara tentang sumber pengetahuan, tetapi soal bagaimana akal kita digunakan untuk membuat keputusan logis dan terukur dalam berbagai konteks. Dengan kata lain, rasionalisme adalah dasar teori/filsafat, sedangkan rasionalitas lebih kepada penerapan praktisnya.
Namun, perlu diingat bahwa secara konsep atau makna, rasionalitas sudah ada lebih dulu, karena para filsuf sejak awal sudah membuat keputusan dan bertindak dengan alasan yang jelas dan terstruktur, bukan lagi berdasarkan kepercayaan yang tidak mendasar. Hanya saja, istilah formalnya (rasionalitas) muncul setelah rasionalisme.
Dalam konteks perselingkuhan ini, bagi seseorang yang mengaktifkan rasionalitasnya dengan sempurna, ketika semakin banyak tanda-tandaapalagi sampai merugikan diri sendiri—dia akan memberontak. Memberontak yang dimaksud bukan meronta-meronta (pukul kepala sendiri, robek ijazah, dll.), tetapi dia akan membuat analisis yang mendalam sehingga membuat keputusan yang rasional.
Misalnya, dalam kondisi tanda-tanda perselingkuhan yang semakin brutal itu, apakah harus melanjutkan hubungan atau mengakhirinya? Dalam keadaan seperti ini, tentunya secara rasional kita akan membuat analisis, seperti: evaluasi kesehatan mental dan fisik, mempertimbangkan manfaat, dan keputusan jangka panjang (bilang perlu pakai analisis tulang ikan “fishbone”).
Artinya, rasionalitas sangat membantu untuk menganalisis tanda-tanda sebelum bukti empiris tiba (sebelum terindra), sekaligus, jika tanda-tanda semakin memburuk, rasionalitas memandu kita untuk mengambil keputusan praktis. Bayangkan jika keputusan harus kita tunda sampai bukti empiris ada (terindra). Lima tahun bukti empiris
belum ada, maka lima tahun pula kamu tersiksa. Artinya, sekiranya rasionalitas kamu mengatakan bahwa kamu banyak rugi dari berbagai aspek, maka pilihan rasional adalah mengakhiri.
Tanda-tanda dalam Konteks Politik
Kalau sebelumnya kita berbicara dalam konteks pacaran, kini kita coba pergi ke hal yang lebih kompleks, yaitu dalam konteks politik. Dunia politik adalah dunia yang penuh konspirasi. Tidak mudah mencari kebenaran di balik peristiwa-peristiwa politik. Bahkan dalam beberapa kasus, kita sering kali tidak mampu mencari tahu motivasi sebenarnya dari suatu peristiwa politik.
Misalnya, saat ini kita sedang dibingungkan oleh masalah ijazah mantan Presiden Indonesia, Jokowi Dodo, yang terkenal dengan sapaan barunya, Mulyono. Masalah ini teramat pelik, sehingga sangat sulit bagi kita untuk mengetahui kebenaran ijazah itu. Roy Suryo berusaha memaksimalkan rasionalitasnya, mencoba mencari kontradiksi dalam kasus ijazah Jokowi. Di sisi lain, Jokowi melalui kuasa hukumnya mengatakan enggan menunjukkan ijazah aslinya.
Menurut Roy Suryo, ada tanda-tanda kejanggalan pada ijazah Jokowi. Seperti misalnya, penggunaan kacamata dalam foto ijazah. Di mana kita ketahui bahwa Jokowi saat ini tidak menggunakan kacamata, serta jenis huruf Times New Roman dalam skripsi Jokowi, padahal pada zaman itu belum ada jenis huruf Times New Roman. Jika kita menggunakan penelusuran rasionalitas, hal ini tentunya susah diterima.
Pembuktian keaslian ijazah Jokowi bukanlah perkara sepele. Jika ia adalah warga biasa, tentu ia tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan keabsahan ijazahnya kepada publik. Namun, sebagai mantan presiden, Jokowi memikul tanggung jawab moral yang jauh lebih besar.
Keaslian ijazah tersebut bukan sekadar soal administratif, melainkan menyangkut integritas dan kredibilitas kepemimpinannya. Jika terbukti ijazah itu palsu, hal ini bukan hanya mencoreng citra pribadi, tetapi juga menunjukkan celah serius dalam sistem pemerintahan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Baiklah, ini hanya satu contoh kecil tentang betapa dunia politik penuh dengan konspirasi dan membingungkan. Kita kembali ke pembahasan kita, yaitu tanda-tanda dalam konteks politik yang lebih kompleks.
Kita mulai dengan melihat berbagai fenomena ajaib yang terjadi selama kepemimpinan Prabowo Gibran. Ajaib berarti sesuatu yang terjadi di luar nalar; efeknya bisa membuat seseorang terkejut, seperti orang yang ternganga menyaksikan atraksi seorang pesulap. Apa saja fenomena-fenomena itu?
Prabowo dan Gibran dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2024. Jika dihitung sampai dengan hari ini, 15 April 2025, maka Prabowo dan Gibran telah menjabat selama 175 hari atau 5 bulan dan 15 hari. Namun, dalam waktu yang begitu singkat, banyak hal kontroversial yang terjadi, seperti: ketidakjelasan status IKN, pembekuan BEM FISIP UNAIR, PHK massal, pagar laut, efisiensi anggaran, aksi mahasiswa “Indonesia Gelap,” tagar #KaburAjaDulu, revisi UU TNI, masalah ekonomi dan perang dagang, dan masih banyak yang lainnya.
Dapat kita lihat bahwa peristiwa-peristiwa politik kontroversial di atas datang dalam rentang waktu yang begitu singkat. Ini bertanda apa? Sebagai warga negara yang baik, apakah kita boleh mengabaikan tanda-tanda ini? Seperti kita ketahui bahwa setelah mendung akan turun hujan melalui pengalaman sebelumnya, maka dalam konteks ini juga kita perlu mendalami tanda-tanda ini dengan melihat pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Adakah pengalaman sebelumnya yang sejalan dengan rentetan masalah di era Prabowo Gibran? Dalam masa pergantian kekuasaan, kondisi politik yang kurang stabil memang kerap terjadi akibat dinamika pasca pemilihan presiden. Namun, persoalan yang kita hadapi saat ini tidak berhenti di situ—kita juga bisa melihat pola serupa dalam konteks lain di luar momen transisi kekuasaan.
Kalau kita menggali kembali sejarah bangsa Indonesia, maka kita dapat menemukan beberapa kesamaan rentetan kejadian-kejadian di atas pada masa krisis ekonomi. Ada dua contoh krisis ekonomi yang menjadi patokan kita, yaitu zaman Soekarno dan Soeharto. Pada zaman kedua presiden ini, kita dapat melihat bahwa sebelum krisis ekonomi mencapai puncaknya, akan ada rentetan kejadian yang mendahuluinya.
Misalnya, di zaman Soekarno, sebelum ekonomi benar-benar amburadul, sudah ada tanda-tanda seperti: kelangkaan barang pokok mulai terasa, gaji tentara dan pengawas tidak cukup, elite mulai saling curiga; militer resah dengan PKI, proyek-proyek mercusuar tetap berjalan.
Zaman Soeharto: sebelum nilai tukar rupiah semakin melemah sejak awal 1998, PHK dan penutupan pabrik mulai terjadi, harga barang mulai naik, IMF belum ada solusi yang menenangkan, dan demonstrasi mahasiswa sudah mulai berlangsung sejak pertengahan 1997, meskipun baru mencapai skala nasional.
Tanda-tanda di atas setidaknya memiliki kemiripan dengan beberapa masalah yang muncul dalam kepemimpinan Prabowo saat ini, seperti PHK massal, kenaikan harga cabai, efisiensi anggaran, tagar #KaburAjaDulu, dan aksi mahasiswa.
Apakah tanda-tanda di atas sudah cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa kesamaan beberapa rentetan masalah zaman Soekarno, Soeharto, dan Prabowo merupakan akibat dari melemahnya ekonomi? Seperti pada awal pembahasan, bagi
seseorang yang haus akan pengetahuan, ia tidak akan berhenti di tanda-tanda, tetapi justru ia akan mencari penjelasan-penjelasan lain yang mendukung kebenaran dari tanda-tanda itu.
Mari kita cari penjelasan teoritisnya. Menurut Karl Marx, ekonomi merupakan fondasi utama dalam struktur masyarakat, yang disebut sebagai basis. Basis ini mencakup cara dan hubungan produksi—siapa yang memiliki alat produksi dan siapa yang bekerja. Di atas fondasi ekonomi ini berdiri suprastruktur, yaitu hukum, politik, ideologi, dan budaya. Marx berpendapat bahwa suprastruktur dibentuk dan ditentukan oleh kondisi ekonomi; perubahan dalam sistem ekonomi akan memicu perubahan dalam seluruh tatanan sosial.
Pernyataan Karl Marx di atas dapat kita analisis dengan implikasi logis (Jika-maka): Jika A, maka B. Jika A terjadi, maka B pasti terjadi juga. Tapi jika A tidak terjadi, B bisa saja terjadi atau tidak—dan pernyataan tetap benar. Dalam konteks Karl Marx: jika ekonomi merupakan fondasi utama dalam struktur masyarakat, maka struktur masyarakat ditentukan oleh kondisi ekonominya. Jika kondisi ekonomi tidak stabil, maka kondisi hukum dan politik juga tidak stabil.
Sangatlah tidak mungkin ketika ekonomi mengalami kemerosotan tanpa mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Besar kecilnya perubahan itu sesuai dengan besar kecilnya masalah ekonomi. Mungkin, sebelum sampai pada puncak krisis, kita akan mengalami perubahan ringan (gesekan-gesekan kecil di masyarakat). Sedangkan jika sampai pada puncak krisis, mungkin kita akan mengalami sesuatu yang lebih berat.
Kita juga bisa menggunakan logika yang lebih relevan dalam konteks kehidupan sehari-hari: gaya hidup kita dipengaruhi oleh penghasilan kita. Gaya hidup dengan gaji 10 juta per bulan tidak bisa disamakan dengan gaya hidup berpenghasilan 100 juta per bulan. Jika penghasilan kita 100 juta per bulan, tiba-tiba dipotong menjadi 50 juta per bulan, pasti ia akan mengubah gaya hidupnya. Mulai pelan-pelan melakukan efisiensi. Begitu pun dalam konteks negara.
Akhirnya, dalam konteks Prabowo-Gibran, sampai pada titik ini kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa beberapa rentetan-rentetan kejadian pada masa kepemimpinan Prabowo adalah akibat dari masalah ekonomi. Kenapa demikian? Karena data empiris telah tiba, kita sudah dapat mengakses informasi di media sosial bahwa memang Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi, terutama diperburuk oleh perang dagang antara Cina dan Amerika. Kita sudah bisa menyaksikan secara indrawi bahwa kita sedang mengalami masalah ekonomi.
Suatu pertemuan yang sangat harmonis. Dimulai dari membaca tanda-tanda, lalu mencoba menganalisis dengan teori dan logika, hingga akhirnya data empiris tiba untuk membenarkannya. Artinya, jika kita lebih peka terhadap tanda-tanda dan melakukan analisis teoritis serta logika, maka kita akan lebih siap menghadapi situasi krisis dibandingkan dengan orang yang tidak menghiraukan situasi sama sekali. Kita tidak akan kaget atau tersesat jika krisis itu tiba.
Tanda-tanda palsu
Ajaibnya, meskipun kita dapat membaca tanda-tanda, menggunakan beberapa landasan teori dan logika, serta dilengkapi dengan bukti empiris, biasanya para buzzer menghadapinya dengan memberikan pertanyaan template: “Mana buktinya? Itu kan hanya pendapat kamu. Saya baik-baik saja, ekonomi kita masih belum parah.” Dalam hal ini, buzzer tersebut berusaha mengelak dengan menganggap bahwa tanda-tanda, dasar teori, logika, dan bukti empiris yang kita miliki belum cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa ekonomi sedang bermasalah. Mereka berusaha mengabaikan semuanya.
Kenapa demikian? Karena kekuasaanlah yang memiliki data lengkap. Kita tidak bisa mengakses data yang kompleks. Mereka tahu akan hal itu, mereka tahu itulah kelemahan kita. Misalnya, dalam kasus pagar laut, sampai hari ini masyarakat tidak pernah tahu siapa sebenarnya yang menjadi dalang dari masalah tersebut. Hanya kekuasaanlah yang tahu (memiliki data lengkap).
Hal yang sama terjadi dalam polemik ijazah Jokowi. Para pendukungnya merasa bahwa bukti yang ada belum cukup untuk membuktikan adanya pemalsuan ijazah tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh kepastian, diperlukan satu bukti lagi, yaitu melihat langsung ijazah Jokowi guna memverifikasi kebenarannya.
Kita kembali ke masalah ekonomi. Sebelum akhirnya terungkap ke publik bahwa Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi, kita sudah bisa merasakannya melalui tanda-tanda. Bahkan sebelum bukti itu muncul, kita sudah mulai menduga bahwa akan ada masalah ekonomi beberapa bulan ke depan. Tapi, apakah mereka mengakui bahwa beberapa tanda-tanda tersebut adalah akibat dari masalah ekonomi? Saat ini mungkin iya, mereka sudah mulai pelan-pelan jujur. Namun, sebelum bukti itu muncul di publik yang diperkuat dengan perang dagang, mereka tidak pernah jujur.
Di sisi lain, untuk membuyar konsentrasi kita dalam membaca tanda-tanda, kita sering dihadapkan dengan informasi-informasi palsu. Mereka membuat tanda-tanda palsu untuk mengelabui, atau yang sering disebut sebagai pengalihan isu. Dalam keadaan seperti ini, kita semakin ditantang untuk lebih konsentrasi membaca tanda-tanda.
Lalu, bagaimana jika data empiris belum tiba? Akhirnya, kita mengerti apa yang dimaksud Rocky Gerung: “dalam ketiadaan data, kita mesti memaksimalkan otak kita.” Dalam keterbatasan data, kita tidak bisa menyerah dengan keadaan, tapi kita harus melakukan upaya-upaya kritis; membaca tanda-tanda, mencari landasan teori dan logika sembari menunggu data empiris tiba.
Mungkin kekuasaan lihai dalam menyembunyikan data, kadang dengan alasan “rahasia negara,” yang sering kali digunakan untuk menutupi informasi yang sebenarnya penting. Tak jarang, mereka bahkan membuat data palsu dan melakukan pengalihan isu. Namun, mereka tidak bisa memanipulasi tanda-tanda nyata seperti: masyarakat merasakan lapar, masyarakat semakin miskin, harga-harga barang naik, mencari kerja susah, PHK massal, dan lain-lain. Inilah kekuatan kita.
Namun, dalam membaca tanda-tanda, jika tidak dibekali dengan wawasan yang luas, saya pikir itu kurang komplit. Bagaikan seorang buruh yang merasa dicurangi, tetapi tidak tahu bagaimana cara melawan, tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Jadilah seperti nelayan dari Banten yang datang dengan setumpuk pengetahuan, sehingga ia mampu berbantah-bantahan dengan siapa pun yang ingin memanipulasinya.
Catatan
Apa yang terjadi setelah masalah ekonomi?
Yang pasti, kita belum tahu! karena bukti empiris belum tiba. tapi kembali lagi, kita sebagai masyarakat biasa yang penuh dengan keterbatasan data, hanya dapat mencari pengalaman sebelumnya dan didukung oleh wawasan yang luas.
Krisis ekonomi, jika tidak dihadapi dengan baik, maka yang terjadi adalah chaos. Itulah yang terjadi di zaman Soekarno dan Soeharto. Apalagi kalau ada masalah-masalah lain selain masalah ekonomi. Pada zaman Soekarno, misalnya, ada pemberontakan dan konflik ideologi, sedangkan pada zaman Soeharto, masalah seperti otoritarianisme, korupsi, nepotisme, dan lain-lain muncul.
Masalah-masalah ini menumpuk bertahun-tahun dan menciptakan ketegangan sosial serta jarak antara pemerintah dan masyarakat. Ketika krisis ekonomi terjadi, semua masalah tersebut “meledak” secara bersamaan; rakyat turun ke jalan, elite mulai meninggalkannya, dan tekanan internasional mulai meningkat.
Perlu diingat bahwa krisis ekonomi pada zaman Soekarno dan Soeharto berakhir tragis. Walaupun pada zaman Soeharto beberapa kali krisis ekonomi mampu di-counter dengan baik, pada akhirnya Soeharto tetap tidak mampu mempertahankan kekuasaannya.
Bagaimana dengan masalah ekonomi saat ini? Chaos atau tidaknya tergantung pada Presiden Prabowo. Jika ia tidak berhati-hati dalam penanganannya, bisa saja berakhir tragis seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Begitu pun sebaliknya.
Jika dianalisis melalui pendekatan materialisme dialektika Marx dan Engels dalam konteks yang berbeda, kita dapat menemukan sejumlah kontradiksi dalam kepemimpinan Prabowo, khususnya terkait kebijakan-kebijakan yang diambil. Salah satu contohnya adalah ketika kondisi ekonomi nasional sedang tidak stabil, namun Prabowo tetap mendorong pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) yang membutuhkan
anggaran sangat besar. Ini bisa dilihat sebagai bentuk kontradiksi antara janji politik dan realitas ekonomi yang dihadapi.
Di sisi lain, terdapat inkonsistensi dalam sikap Prabowo. Pada awalnya, Prabowo dengan gagah menyampaikan akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, namun seiring waktu ketegasannya mulai melunak. Hal ini tercermin dalam ucapannya; “Kasihan keluarga koruptor yang tidak bersalah, kembalikan saja hasil korupsinya.
Kemudian, Prabowo dan elite politik lainnya menggaungkan tentang kemandirian bangsa, tetapi kenyataannya kita masih sangat bergantung pada investasi asing, utang luar negeri, dan perdagangan global.
Kontradiksi semacam ini, jika terus dibiarkan, akan mencapai titik puncaknya dan melahirkan sebuah sintesis. Akan terjadi sebuah “ledakan” yang menghancurkan kontradiksi tersebut dan mendorong lahirnya perubahan yang bersifat revolusioner. Demikianlah menurut pandangan Marx dan Engels.a
Pada pembahasan sebelumnya, saya mengatakan bahwa data politik bisa disembunyikan oleh kekuasaan, tetapi soal kemiskinan, harga cabe yang naik, PHK massal, dan pengangguran—mereka tidak bisa berbohong. Seperti yang sudah ditegaskan oleh kaum rasionalisme bahwa akal adalah yang utama, maka sebelum data empiris yang mereka sembunyikan tiba, kita harus mengaktifkan akal kita. Kita pinjam semangat rasionalisme.
Penulis : Mayo De Quirino Founder Komunitas Ruang Dialektika.