Menalar Istilah Kampungan

0

Pasca dilantik, Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran, masyarakat tak hentinya dikejutkan oleh berita-berita yang menyakitkan hati. Mulai dari korupsi, kebijakan, perselingkuhan, penindasan, komunikasi politik: ‘Ndasmu’, ‘hidup Jokowi’, ‘Anjing menggonggong’, ‘Otak kampungan’, ‘kau yang gelap’, dan lain-lain.

Dengan adanya berita-berita di atas, tidak berlebihan jika kita menduga bahwa ada yang tidak baik-baik saja dengan para pemimpin kita. Bagaimana kita mengetahuinya? Mari, kita coba pakai metode yang digunakan Tomas Aquinas dalam upaya menjelaskan bahwa Tuhan itu ada, yaitu sebab-akibat. Tentunya, metode ini juga sering kita gunakan dalam kehidupan teoritis dan praktis kita.

Prinsipnya adalah segala sesuatu yang ada pasti memiliki penyebab. Setiap peristiwa atau kejadian pasti ada penyebabnya. Menurut Tomas Aquinas, kecuali penyebab pertama (Tuhan), yang merupakan penyebab yang tidak disebabkan oleh apapun. Artinya, sejauh kejadian atau peristiwa itu masih dalam ruang lingkup manusia ( dunia fenomena ), kita dapat mencari penyebabnya dengan akal kita.

Misalnya, dalam teori iritabilitas yang menjelaskan bahwa kondisi fisik (fisiologis) dapat mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang: lapar, kelelahan, atau ketegangan fisik dapat mengakibatkan mudah marah, mudah tersinggung, dan reaktif.

Atau, dalam konteks istilah “otak kampungan” yang diucapkan oleh seorang jendral (dapat dilihat referensinya di media sosial). Ucapan “otak kampungan” merupakan akibat dari ketidakstabilan emosi, yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang kurang stabil. Kondisi tubuh yang kurang stabil dapat disebabkan oleh lapar, yang pada gilirannya disebabkan oleh isi dompet yang menipis (uang berkurang), dan seterusnya.

jika kita terus mencari penyebab-penyebab, bilah perlu sampai pada penyebab utama, tentu bukan pula penyebab tak terhingga. Mungkin kita akan melewati titik tertentu sehingga dapat menemukan hubungan antara negara dengan penurunan isi dompet (uang berkurang ) mereka. (boleh dicoba).

Romo Magnis lewat sebuah flyer yang dirilis Inilahcom pada 2 April 2025 mengatakan, “Situasi kita serius, kalau bukan gawat. Kita harus terus berjuang.” Kita mungkin belum masuk dalam krisis politik atau ekonomi, tetapi tanda-tanda kerusakan sudah ada. Apakah pernyataan ini ada hubungannya dengan fenomena di atas? Mungkin jika kita terus mencari penyebab-penyebabnya, kita bisa menemukan korelasinya.

Namun, jangan terlalu serius! Tentunya, ini hanya sebuah pengantar yang mengaktifkan imajinasi. Mari, kita pergi ke topik utama kita, yaitu tentang istilah “otak kampungan.”

Istilah Kampungan

Beredar di media sosial, seorang jenderal menyampaikan pernyataan kontroversial, terutama pada kalimat “otak kampungan.” Peristiwa ini bermula dari revisi UU TNI yang menuai banyak kritik dari masyarakat, di mana diduga akan ada peluang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil dan mengembalikan wajah Orde Baru. Komentar-komentar dari beberapa orang menurutnya terlalu berlebihan (berisik). “Jadi nggak usah ramai bikin ribut di media segala macam ini. Ini itu Orde Baru lah, tentara dibilang cuma bisa membunuh dan dibunuh. Ini menurut saya otak-otak seperti ini kampungan,” kata dia.

Saya sebagai seorang sarjana Sastra Indonesia merasa terpanggil untuk mengomentari hal ini, karena sekurang-kurangnya saya memahaminya. Di sisi lain, sebagai seseorang yang berasal dari desa (kampung), saya merasa ada yang salah dengan diksi ini—suatu diksi yang sangat diskriminatif.

Bertahun-tahun mendengar istilah ini, rasanya ada yang tidak beres, saya merasa tidak nyaman. Namun, pada waktu itu saya belum cukup mengerti secara utuh apa persoalannya (belum cukup pengetahuan), sehingga saya menahan diri untuk tidak berkomentar. Hari ini, saya memberanikan diri.

Mungkin inilah yang disebut oleh Romo Magnis Suseno sebagai suara hati. Semacam ada yang berbisik, “Ayo, kamu sampaikan apa yang benar.”

Mari kita kerucutkan pembahasan kita. Istilah kampunga berasal dari kata “ kampung “ yang merujuk pada sebua desa atau pemukiman kecil terutama di daera pedesaan. Dalam konteks bahasa Indonesia “ kampungan “ diguna untuk menggambarkan sesuatu yang sederaha, tidak modern, kurang canggi atau kuno.

Penambahan sufiks “-ngan” pada kata “kampung” untuk membentuk “kampungan” adalah bagian dari perubahan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang memengaruhi makna dan konotasi kata tersebut. Sufiks “-ngan” dalam bahasa Indonesia sering digunakan untuk membentuk kata benda yang memiliki arti “sesuatu yang berhubungan dengan” atau “hasil dari” suatu proses atau keadaan. Dalam hal ini, penambahan “-ngan” pada kata “kampung” memberikan makna yang lebih abstrak dan sering kali negatif, bergantung pada konteks penggunaannya.

Kalau kita kaji dari sisi sosiolinguistik, istilah “kampungan” juga bisa dilihat sebagai refleksi dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Penggunaan istilah ini bisa mencerminkan pandangan sosial terhadap perbedaan antara kehidupan di desa (kampung) dan kehidupan di kota. Stereotip negatif terhadap “kampungan” sering kali mencerminkan pandangan masyarakat yang menganggap kehidupan kota lebih maju, canggih.Hal ini juga dapat memperkuat perbedaan kelas sosial antara mereka yang hidup di perkotaan dan pedesaan.

Semakin hari, istilah “kampungan” semakin berkonotasi negatif. Awalnya hanya merujuk pada sesuatu yang kurang modern, kurang canggih, atau kuno, namun seiring waktu, konotasinya semakin meluas. Perilaku individu atau sekelompok orang tertentu yang bersifat negatif, ketika dilakukan oleh seseorang yang berasal dari kampung, kemudian disebut sebagai “kampungan.”

Yang paling sedih adalah ketika seseorang yang baru tiba dari kampung, dengan kepolosannya, bertemu dengan lingkungan baru dan sedang mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, namun tetap tidak terlepas dari hinaan yang mereka sebut dengan “kampungan.”

Di sisi lain, yang paling berbahaya adalah dia yang menghina tidak bisa membedakan antara budaya dan “kampungan.” Perbedaan budaya, khususnya bahasa dan dialek (logat), sering dianggap sebagai “kampungan.” Ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Lebih parah lagi, dia yang disebut “kampungan” karena bahasa dan dialeknya merasa minder dan enggan menggunakan kekhasan tersebut. (Terpaksa harus pakai “gua lu” walau agak gimana gitu).

Yang paling tidak masuk akal adalah bahwa beberapa kebiasaan buruk orang-orang kota juga disebut “kampungan.” Bayangkan, orang kota itu sendiri jika dianggap kurang canggih, tidak sesuai dengan standar tertentu di kota, juga disebut sebagai kampungan( Sungguh tidak ada kaitan). Ini adalah inkonsistensi dalam pemaknaan.

Catatan
Seseorang yang baru datang dari kampung ke kota dalam masa penyesuaian tidak layak disebut kampungan. Kampung dan kota adalah dua kehidupan yang berbeda dari sisi geografis, budaya, kebiasaan, dan lain-lain. Bukankah sesuatu yang wajar jika seseorang merasa kebingungan ketika bertemu dengan lingkungan baru? Artinya, penyesuaian bukan hanya dialami oleh orang kampung, tetapi sebaliknya, orang kota pun akan tampak bingung dan heran jika pertama kali ke desa.

Perlu diingat, hal semacam ini berlaku untuk semua orang: orang Amerika pertama kali datang ke Indonesia pasti terheran-heran, begitu pula sebaliknya, dan seterusnya. Ajaibnya, tidak ada lawan kata dari kata “kampungan” seperti “kotangan” atau sejenisnya yang menggambarkan perilaku aneh orang-orang kota saat pertama kali melihat keindahan desa (kampung).

Di sini juga terdapat hasty generalization (generalisasi terburu-buru), yang merupakan salah satu jenis logical fallacy (kesalahan logika), yaitu ketika seseorang menarik kesimpulan umum atau luas berdasarkan bukti yang terbatas atau tidak cukup. Artinya, seseorang membuat klaim atau pernyataan yang terlalu luas tentang suatu kelompok atau situasi hanya berdasarkan sejumlah kecil contoh. Dalam konteks ini, hanya karena perilaku buruk beberapa orang kampung, maka digeneralisasi seolah-olah semua orang kampung sama. Kelakuan tiga orang kampung yang mabuk di jalan dan kemudian melakukan pemalakan terhadap pengendara sepeda motor tidak bisa digeneralisasi bahwa semua orang kampung sama.

Selain itu, dalam kasus di atas terdapat logical fallacy jenis false dichotomy, yaitu seolah-olah ada dua kategori yang dianggap benar dan final: kehidupan kota yang “modern” dan desa yang “tidak berkelas.” Ini menyederhanakan kompleksitas kehidupan masyarakat yang lebih beragam dan tidak sesuai dengan kenyataan yang lebih bernuansa.

Seolah-olah hanya kehidupan kota yang merupakan kehidupan orang-orang beruntung, sementara kampung adalah kehidupan orang-orang yang tidak beruntung secara kodrati. Padahal, kita masih bisa melihatnya dari sudut pandang yang lebih positif, misalnya, hidup di desa lebih tenang, merawat alam, keakraban, dan lain-lain.

Menalar Pikirannya

Lalu, mengapa istilah itu dicuapakan di ruang publik?

Ada dua kemungkinan, yaitu masalah penalaran atau masalah moral. Jika masalah penalaran, berarti yang bersangkutan tidak memiliki cukup informasi untuk kemudian melakukan analisa, sehingga menghasilkan keputusan yang tidak tepat (tidak memiliki pengetahuan). Dia tidak mengetahui bahwa diksi “kampungan” berkonotasi negatif dan diskriminatif.

Atau lebih spesifik, dia tidak mengetahui etimologi dari diksi itu dan juga tidak menganalisis pemaknaannya dari sisi sosiolinguistik. Sehingga, saat mengucapkannya, dia tidak menyadari bahwa dia sedang mengucapkan istilah yang kurang tepat; dia tidak menyadari bahwa dia sedang melakukan kesalahan.

Atau, kedua, masalah moral. Dia mengetahui bahwa diksi itu berkonotasi negatif dan diskriminatif, dia tahu etimologi dan makna sosiolinguistik dari istilah itu. Namun, dia secara sengaja mengucapkan istilah tersebut dengan maksud tertentu ( sifatnya negatif ). Dalam imperatif kategoris Immanuel Kant, moral adalah kewajiban yang berlaku secara universal. Kita pakai maksim “diskriminasi.” Apakah diskriminasi diterima secara umum ( berlaku universal )? Tentunya, setiap manusia tidak boleh mendiskriminasi. Artinya, penggunaan diksi “kampungan” yang berkonotasi negatif itu, secara moral, tidak boleh diucapkan di ruang publik

Tambahan

Apakah dia layak menempati jabatan sipil? Sujiwo Tejo pernah mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang sepanjang hari dan malamnya memikirkan soal manusia, bukan hanya dirinya sendiri, keluarga dan kelompoknya.

Disis lain, Plato, seorang filsuf Yunani Kuno, dalam karyanya yang terkenal, Republik , berpendapat bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf, oleh seorang yang bijaksana. Bijaksana yang dimaksud bukanlah dalam artian dalam percakapan sehari-hari (tidak agresif, sopan, pendiam, dan lain-lain).

Bijaksana yang dimaksud adalah suatu sikap yang datang dari proses berpikir yang mendalam. Mereka mengetahui pengertian keadilan, kebaikan, dan kesetaraan dalam pengertian yang lebih tinggi yang kemudian akan termanifestasi dalam tindakannya.

Masih dalam Republik , Plato juga berpendapat bahwa kelas pejuang atau tentara memiliki peran untuk menjaga stabilitas negara, melawan ancaman internal dan eksternal. Plato membagi kelas menjadi tiga: kelas raja-raja atau filsuf, kelas penjaga atau tentara, dan kelas pekerja atau produsen.

Bagaimana mungkin kelas penjaga atau tentara bisa berkonsentrasi dengan tugas-tugasnya jika sekaligus menduduki jabatan sipil? Apalagi, pernyataannya “otak kampungan” membuktikan bahwa dia tidak bijaksana. Dalam skema pemikiran Plato, ini cacat. Atau, seperti yang dikatakan para pecinta Mobile Legends : Double kill.

Penulis : Mayo De Quirino Founder Komunitas Ruang Dialektika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *