
Dok. Pribadi
PMKRI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, pernah menjadi kawah candradimuka yang menempah kader-kader muda Katolik progresif. Ia bukan sekadar organisasi kemahasiswaan biasa, melainkan ruang dialektika dan praksis, tempat pikiran dan tindakan bertemu, bertarung, dan bertumbuh. Namun kini, organisasi yang dulu gemuruh dengan gagasan dan membara oleh aksi itu tampak kelelahan secara intelektual dan kehilangan nyali dalam bertindak. Krisis gagasan dan tindakan bukan sekadar masalah teknis atau struktural; ia adalah refleksi dari kegagalan menjaga api perjuangan tetap menyala di tengah godaan kenyamanan dan seremonialisme.
Hari ini, PMKRI seperti terjebak dalam tiga jebakan mematikan. Yang pertama, romantisme sejarah. Kita terlalu sibuk memuja masa lalu, menyebut nama-nama besar dalam setiap forum, namun gagal menggali makna mendalam dari perjuangan mereka. Kita bangga berada di orde baru, melawan kerasnya orde lama, bersuara lantang soal pelanggaran HAM, dan dekat dengan denyut masyarakat yang terpinggirkan. Namun ketika zaman kini menuntut keberanian serupa, organisasi justru kehilangan taring. PMKRI seperti lupa bertanya: Apa yang sedang PMKRI perjuangkan hari ini? Sejarah bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk dilanjutkan. Romantisme membuat kita nyaman dalam nostalgia, tapi lupa membangun masa kini yang relevan.
Jebakan kedua datang dalam bentuk yang seolah rapi dan tersamar: administrasi kosong. Di banyak rapat dan forum, energi habis bukan untuk berdialektika, melainkan untuk mengejar tenggat laporan, menyusun proposal pelatihan yang entah apa esensinya, atau memperdebatkan format laporan pertanggungjawaban yang kian kehilangan kejujuran dan makna. Bukan berarti administrasi tidak penting, ia tetap perlu sebagai alat kendali dan dokumentasi, namun ketika denyut organisasi hanya bergerak demi memenuhi kewajiban administratif, yang perlahan hilang adalah ruh perjuangan itu sendiri. Forum-forum menjadi sekadar ritual formal, bukan ruang hidup bagi pemikiran kritis dan diskusi ideologis.
Jebakan ketiga, dan mungkin yang paling mematikan, adalah elitisme organisasi. Struktur kepengurusan yang semestinya menjadi alat perjuangan berubah menjadi panggung kontestasi jabatan. Banyak kader muda lebih sibuk membangun citra, mencari restu, dan meniti tangga kekuasaan kecil dalam tubuh organisasi. Jabatan struktural menjadi tujuan, bukan sarana. Mereka yang kritis kadang disingkirkan, sementara mereka yang jinak dan patuh sistem justru dilindungi. Dalam situasi ini, keberanian dikorbankan demi kenyamanan, dan idealisme digantikan oleh kalkulasi politik internal. Organisasi pun kehilangan karakter.
Namun semua ini bukanlah kutukan. Tiga jebakan tadi adalah hasil dari pilihan kolektif kita yang terlalu lama nyaman dalam kebiasaan. Sejarah PMKRI mengajarkan bahwa organisasi yang mampu mengkritik dirinya sendiri adalah organisasi yang masih hidup. Maka pertanyaan yang layak kita ajukan hari ini bukan lagi “apa yang telah kita capai?”, tetapi: “apa yang sedang kita diamkan?” Dan siapa yang masih berani bicara?
Yang ramai justru akun Instagram dan Facebook organisasi, penuh dengan foto tangan mengepal, baliho besar, dan ekspresi percaya diri. Namun apa makna semua itu jika tak ada narasi yang menyertainya? “Satu foto bisa mewakili seribu kata,” kata orang, tapi satu foto kader mengepalkan tangan tanpa konteks hanyalah estetika kosong. PMKRI hari ini tampak semakin tenggelam dalam budaya simbolik, di mana seremonial lebih diutamakan ketimbang substansi. Unggahan media sosial lebih diprioritaskan dibanding ruang-ruang refleksi yang dulu menjadi ruh gerakan. Bahkan mereka yang duduk di kursi pengurus sering kali lebih sibuk merancang template canva dan menyusun caption media sosial daripada mendorong anggota untuk berpikir kritis, berdialektika, dan menulis refleksi. Organisasi yang seharusnya menjadi kawah candradimuka pembentukan intelektual dan spiritual, justru perlahan berubah menjadi panggung pertunjukan visual, indah di permukaan, tapi hampa di dalam dan kosong.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, PMKRI harus direpolitisasi. Harus kembali pada akar sebagai organisasi gerakan sosial-politik. PMKRI bukan LSM, bukan UKM kampus, apalagi event organizer. Ia lahir dari denyut perjuangan mahasiswa Katolik yang terpanggil untuk berpihak pada yang kecil, yang miskin, dan yang tertindas. Jika orientasi ini tidak dikembalikan, maka PMKRI hanya akan menjadi organisasi seremonial yang kehilangan ruh perlawanan.
Kedua, revitalisasi gagasan adalah kebutuhan mendesak. Bacaan kader tidak boleh berhenti pada ensiklik dan dokumen gereja saja. PMKRI perlu membuka cakrawala pikir kepada tokoh-tokoh seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Franz Magnis Suseno, Tan Malaka, hingga Michel Foucault. Kita perlu memahami pendidikan sebagai jalan pembebasan, etika sebagai keberpihakan, sejarah sebagai medan perjuangan, dan kekuasaan sebagai sesuatu yang harus terus-menerus dikritisi. Organisasi akan hidup kembali jika ia menjadi dapur ideologis yang membentuk kader berpikir dan berani.
Ketiga, perlawanan berbasis nurani harus menjadi roh utama gerakan. Di tengah ketimpangan sosial, konflik agraria, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM, PMKRI tidak bisa netral. Netralitas di tengah ketidakadilan adalah keberpihakan pada penindas. PMKRI harus hadir di garda terdepan isu-isu kemanusiaan. Kehadiran itu tak selalu harus turun ke jalan, tetapi bisa melalui advokasi, penyuluhan, kampanye edukatif, dan pelatihan kader yang konsisten.
Keempat, budaya menulis harus dihidupkan kembali. Menulis adalah bentuk perlawanan pertama. Ia adalah cara paling ampuh untuk berpikir jernih dan menyampaikan keresahan. Jika tidak mampu berbicara di mimbar, maka menulislah. Jika tak mampu menulis, maka turunlah dan dengarkan suara rakyat. Sejarah mencatat mereka yang menulis dan bergerak, bukan yang diam. Banyak para alumni menulis di berbagai media, tanpa dana besar, tapi menyala oleh keresahan. Mereka menyentil, memuji, dan menggugat. Kini, tradisi itu menghilang, tergantikan oleh unggahan Instagram dan foto-foto seremonial. Satu foto bisa mewakili seribu kata, tapi tanpa narasi, ia hanyalah estetika kosong.
Jordan Peterson pernah berkata, “If you can think and speak and write, you are absolutely deadly.” Menulis adalah cara melatih berpikir kritis, dan itu adalah inti dari kaderisasi. Tanpa menulis, kita hanya mencetak petugas seremoni, bukan pemikir dan pejuang. PMKRI membutuhkan lebih dari sekadar pengurus. Ia butuh saksi zaman.
Menulis atau menyerah, itulah pertaruhannya. Sebab dengan menulis, suaramu takkan padam ditelan angin. Ia akan abadi, sampai jauh di kemudian hari. Karena tanpa menulis, kau akan hilang dari pusaran sejarah. Dan bagi PMKRI, itu adalah kematian yang paling menyedihkan.
Alexander Philiph Sitinjak adalah penulis sekaligus alumni PMKRI Cabang Bogor yang saat ini bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai auditor. Ia aktif di berbagai organisasi, termasuk sebagai anggota Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik, Ketua Bidang Lintas Iman Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia, serta Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Bogor.