
“Sudah isi absen belum?” Mungkin itu kalimat paling sering terdengar di ruang kelas kampus. Ia lebih rutin muncul dibanding, “Apa pendapatmu soal materi ini?” atau “Apakah kamu merasa tercerahkan setelah kuliah hari ini?.”
Kalimat itu terdengar biasa saja, tapi menyimpan tanya yang dalam: apakah kampus hari ini benar-benar ruang untuk berpikir, atau hanya tempat tubuh duduk dan nama tercatat? Saya hadir di kelas, duduk tepat waktu, membuka laptop, menyimak, mencatat, tapi tak pernah benar-benar mengalami sesuatu yang baru dalam pikiran.
Kampus yang dulu saya bayangkan sebagai tempat lahirnya ide-ide besar, kini menjelma seperti kantor administratif: ada sistem presensi, ada jadwal, ada poin partisipasi, tapi sangat sedikit ruang untuk pertanyaan liar.
Saya tidak sedang menghakimi para dosen. Justru saya yakin, banyak dari mereka yang juga terjebak dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi kreativitas pedagogis. Yang saya pertanyakan adalah sistem yang menciptakan semua ini.
Sistem yang mengubah pendidikan menjadi produksi massal. Yang mencetak mahasiswa seperti mencetak roti, seragam, rapi, dan siap jual. Pertanyaan itu terus berputar, dan dari sanalah tulisan ini lahir.
Pendidikan Tinggi sebagai Mesin Disiplin
Di dalam sistem kampus hari ini, terdapat logika kontrol yang halus yang nampaknya efektif. Absensi adalah pintu pertama dari mekanisme itu. Satu kali tak mengisi, kamu bisa kehilangan nilai kehadiran. Dua kali, bisa langsung dianggap tak lulus. Tak peduli apakah kamu ikut berdiskusi, membaca referensi, atau bahkan menulis makalah yang brilian—tanpa kehadiran administratif, kamu absen secara eksistensial.
Michel Foucault dalam Discipline and Punish menyebut bahwa institusi modern seperti sekolah dan penjara bekerja dengan mekanisme panoptikon—di mana subjek selalu merasa diawasi, sehingga akhirnya menginternalisasi kontrol. Kampus juga demikian: menciptakan disiplin melalui sistem absensi, format tugas, hingga logika IPK.
Namun, persoalannya bukan sekadar absensi. Tapi apa yang dihitung oleh sistem ini, dan apa yang justru diabaikan? Mahasiswa yang sekadar hadir secara fisik bisa mendapatkan nilai partisipasi, sementara yang hadir dengan semangat berpikir tapi tidak mengisi presensi bisa dianggap “tidak hadir”. Ini logika absurd yang menjungkirbalikkan makna kehadiran itu sendiri. Lebih jauh lagi, sistem ini memperkuat logika meritokrasi semu.
Semakin rajin absen, semakin tinggi IPK, semakin dianggap “mahasiswa ideal.” Padahal, laporan dari BPS (2024) menunjukkan bahwa 62,4% lulusan sarjana bekerja bukan pada sektor formal atau sesuai jurusan, dan 58% di antaranya merasa kuliah mereka tidak memberi manfaat langsung terhadap kemampuan hidup sehari-hari. Sistem pendidikan ini lebih banyak mendidik untuk taat, bukan untuk berpikir.
Ketika Pengetahuan Direduksi Menjadi Angka
IPK yang katanya cermin prestasi akademik—seringkali justru menutup ruang refleksi. IPK tinggi tak selalu berarti mampu berpikir kritis. Yang diuji bukan kemampuan menyusun argumen, tapi kemampuan menjawab soal pilihan ganda. Yang dihargai bukan keorisinalan gagasan, tapi kesesuaian dengan format tugas.
Pengetahuan pun direduksi menjadi pengulangan. Menurut data Indonesian Career Center Network (ICCN), 87% lulusan perguruan tinggi di Indonesia bekerja di luar bidang studinya. Bahkan lebih dari 50% mengaku merasa “tak siap” menghadapi dunia kerja, meskipun memiliki IPK yang tergolong tinggi.
Ini bukan hanya persoalan relevansi kurikulum, tapi juga soal orientasi pendidikan secara keseluruhan: kita terlalu sibuk memoles nilai, lupa menyiapkan manusia. Paulo Freire menyebut ini sebagai pendidikan gaya bank: dosen menyetor informasi, mahasiswa menyimpan, lalu mengembalikannya dalam bentuk ujian.
Mahasiswa tidak diajak berdialog, tapi diarahkan untuk mengingat dan menyalin. Maka lahirlah generasi pintar menjawab soal, tapi gagap menghadapi kenyataan. Namun Freire tidak hanya mengkritik. Ia juga menawarkan solusi. Pendidikan, menurutnya, harus bersifat dialogis—yakni memperlakukan guru dan murid sebagai sesama subjek yang bersama-sama ingin memahami kenyataan.
Pendidikan bukan penyeragaman, tapi proses saling membuka diri untuk berpikir dan bertindak secara transformatif. Dalam hal ini, pendidikan menjadi proyek emansipasi: membebaskan manusia dari keterasingan, baik dari realitas sosial maupun dari dirinya sendiri.
Ketika Mahalnya Kuliah Tak Sejalan dengan Makna Belajar
Biaya kuliah hari ini telah menjelma jadi semacam tiket masuk ke pasar kerja, bukan lagi investasi kemanusiaan. Padahal tak semua orang punya tiket itu. Dalam laporan BPS 2023, rata-rata biaya kuliah per semester di perguruan tinggi negeri sudah mencapai Rp5,2 juta, dan di perguruan tinggi swasta bisa tembus Rp8 juta atau lebih. Belum termasuk biaya hidup, transportasi, praktik lapangan, dan pungutan “tak tertulis” lainnya.
Lalu kita bertanya: dengan semua ongkos sebesar itu, apa sebenarnya yang kita bayar? Jika kampus adalah pabrik, maka mahasiswa adalah pelanggan yang membayar untuk “diproses” menjadi tenaga kerja. Uang kuliah bukan lagi ongkos belajar, tapi biaya produksi diri. Inilah wajah kapitalisme pendidikan: saat ilmu berubah menjadi komoditas, dan ijazah jadi barang dagangan.
Mahasiswa bukan lagi subjek yang bertanya, tapi klien yang menuntut “layanan pendidikan” yang cepat, efisien, dan langsung berguna di dunia kerja. Namun kenyataan pahitnya adalah: mahalnya biaya kuliah tidak sebanding dengan daya tawar lulusan.
Data dari Indonesian Economic Outlook 2024 menunjukkan bahwa pengangguran terbuka dari lulusan S1 mencapai 8,36%, lebih tinggi dibanding lulusan SMK atau SMA. Artinya, setelah membayar mahal, tak sedikit mahasiswa yang tetap kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak.
Dalam logika neoliberal, kuliah dilihat sebagai “investasi individu”—bukan sebagai hak, tapi beban pribadi. Maka wajar jika kita melihat banyak mahasiswa yang menanggung utang, bekerja sambilan hingga mengorbankan kualitas belajar, atau bahkan drop-out karena tak sanggup membayar. Dalam sistem seperti ini, pendidikan bukan lagi jalan emansipasi, tapi ruang seleksi berdasarkan daya beli
Kampus Sebagai Ruang yang Kehilangan Nyawanya
Tak hanya kurikulum, kampus juga mengalami krisis ruang diskursif. Forum akademik menjelma seremoni. Diskusi berubah jadi sesi presentasi. Pertanyaan filosofis yang mengganggu dianggap tidak relevan.
Mahasiswa yang kritis seringkali dicap nyinyir. Bahkan organisasi kemahasiswaan kini dibatasi lewat regulasi “etika kampus”. Padahal, pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang di mana ide-ide bertabrakan, bukan hanya mengikuti garis silabus. Heidegger pernah mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar makhluk yang “ada”, tapi “ada di dunia” (Dasein)—yakni mampu menyadari keberadaannya dan memberi makna.
Tapi dalam sistem kampus yang kaku dan administratif ini, mahasiswa justru berubah menjadi bestand—sumber daya yang diproses dan dikomersialkan.
Karl Marx juga dalam Grundrisse mengingatkan bahwa ketika kerja dan pendidikan semata-mata diarahkan pada kebutuhan produksi, manusia akhirnya kehilangan potensi emansipatorisnya. Ia menjadi bagian dari mesin.
Lulus kuliah bukan lagi soal tumbuhnya kesadaran, tapi soal layak jualnya CV. Hari ini, mahasiswa dijejali soft skill, seminar karier, dan pelatihan “siap kerja”—tapi tidak diajak bertanya: kerja untuk siapa? Pendidikan untuk siapa? Dan hidup seperti apa yang sebenarnya kita inginkan? Maka tak heran jika banyak mahasiswa merasa kosong. Mereka masuk kelas, ikut ujian, lulus tepat waktu—tapi tak pernah merasa utuh sebagai manusia yang berpikir.
Pendidikan tanpa pemaknaan adalah pabrik sunyi. Dan kampus tanpa kesadaran adalah ladang gersang yang hanya menanam angka.
Mengembalikan Arti Belajar
Kalau kita ingin kampus berubah, maka perbaikannya harus dimulai dari sekarang. Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan: Hapus sistem absensi sebagai syarat utama. Gantilah dengan penilaian berbasis keaktifan, refleksi, dan hasil belajar.Ubah cara menilai mahasiswa. Fokus pada proses, ide orisinal, dan cara berpikir lintas disiplin, bukan hanya pada angka akhir. Ciptakan forum diskusi terbuka. Ajak mahasiswa dari berbagai jurusan untuk berdiskusi soal isu-isu nyata di masyarakat.Beri dosen kebebasan mengajar. Supaya mereka bisa bereksperimen dengan cara-cara yang lebih menarik dan bermakna.Perluas akses pendidikan. Bantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu agar bisa kuliah tanpa beban ekonomi. Kenapa semua ini penting? Karena jika tidak, kampus hanya akan mencetak manusia yang patuh, tapi tidak sadar. Yang tahu cara mengerjakan tugas, tapi lupa cara berpikir.Kita membutuhkan kampus yang tak hanya membanggakan akreditasi, tapi juga membuka ruang untuk pertanyaan. Kita butuh sistem yang tak hanya menghitung absen, tapi mendengarkan suara yang hadir. Kita butuh dosen yang tak hanya mengisi slide, tapi menantang cara berpikir kita. Kita butuh pendidikan yang mengganggu—karena dari gangguanlah kesadaran tumbuh. Di akhir, saya ingin mengutip Paus Fransiskus saat mengunjungi Universitas Roma Tre tahun 2017: “Universitas bukan pabrik ijazah. Ia adalah rumah kemanusiaan. Kalau pendidikan tak mampu membentuk hati dan pikiran, maka itu bukan pendidikan—itu hanya produksi teknis.” Pendidikan adalah tindakan cinta. Ia tidak dibangun dari kurikulum belaka, tapi dari hasrat untuk membebaskan. Hasrat untuk membentuk manusia yang bisa berpikir, merasakan, dan berbelarasa. Dan cinta, seperti halnya belajar—tidak pernah bisa dipaksakan lewat absen atau nilai. Karena itu, ketika kita berbicara soal reformasi pendidikan tinggi, kita tidak hanya bicara soal metode belajar, kurikulum, atau IPK. Kita bicara soal keberanian untuk memutus logika lama yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan. Kita bicara soal pendidikan yang adil, membebaskan, dan dapat diakses semua orang—bukan hanya yang mampu membayar. Kritik ini bukan tanda kebencian. Ini justru bukti cinta. Sebab yang mencintai, akan terus berharap. Dan saya berharap, kampus bukan lagi tempat saya merasa kosong, tapi tempat saya merasa tumbuh.
Catatan:
Tulisan ini disusun sebagai bentuk refleksi atas sistem pendidikan tinggi yang dialami penulis. Kritik dalam tulisan ini ditujukan bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menggugah arah baru bagi pendidikan yang lebih manusiawi dan membebaskan.
Penulis : Frigy De Quirino (Presidium Pendidikan dan Kaderisasi)