
Di negeri +62, ternak bukan lagi urusan kandang, di medsos ada ternak views. Di Instagram, ternak like. Di YouTube? Ternak subscriber pakai giveaway. Di Twitter, semua bisa diternakkan: opini, marah-marah, bahkan harga diri. Di politik pun istilah ternak makin lincah: ada ternak kader, ternak buzzer, sampai ternak loyalitas. “Wah, ini mah ternaknya siapa, nih?” Dapat jatah apa, bang? Atau fix diangkat jadi menteri, nih? Komentar begitu sudah kayak bumbu wajib di setiap berita politik.
Kalem dulu. Ini bukan soal ternak yang langsung ngegas tiap dengar kata oposisi. Saya tidak sedang ngomongin mereka yang nge-tweet demi jabatan atau nyari panggung lewat podcast politik. Saya ingin mengajak kita turun ke tanah secara harfiah—masuk ke dunia ternak yang sesungguhnya: tentang sapi, kambing, ayam yang benar-benar hidup, yang makannya rumput, bukan anggaran. Dan lebih dari itu: tentang orang-orang yang setiap hari memberi makan hewan-hewan itu. Disclaimer: bukan mereka yang kasih pakan ke buzzer ya, melainkan yang benar-benar kasih makan ke sapi. Tapi hidupnya sendiri justru sering tak dianggap penting. Seolah-olah mereka tak lebih berharga dari hewan yang mereka pelihara.
Dalam narasi pembangunan peternakan nasional, ternak mendapat perhatian sangat besar. Ia dihitung dalam angka. Ia diukur dengan timbangan. Ia dipetakan dengan grafik populasi dan ditargetkan menghasilkan daging, susu, dan telur dalam jumlah tertentu.
Tapi bagaimana dengan peternaknya? Padahal antara keduanya ternak dan peternak ada hubungan yang tak bisa dipisahkan. Yang satu hidup dari merawat, yang lain hidup karena dirawat. Namun, dalam kebijakan publik, keduanya tidak diperlakukan setara. Ternak kerap dianggap sebagai aset produksi yang harus dijaga mutunya. Sedangkan peternak manusia yang bekerja dari pagi sampai malam jarang dihitung secara manusiawi.
Ketika ternak terserang penyakit, pemerintah sigap dengan program vaksinasi nasional. Tapi ketika peternak jatuh miskin akibat harga pakan yang naik atau pasar yang lesu, solusinya sering hanya berupa imbauan untuk “berinovasi” atau “meningkatkan efisiensi”. Subsidi digelontorkan untuk sapi, ayam, dan pakan tapi tanpa jaminan bahwa manfaatnya benar-benar sampai ke tangan peternak kecil. Negara memang menyuntik dana ke sistem produksi, tapi sering lupa memastikan manusia dalam sistem itu mampu hidup layak. Hewan dilindungi, manusia yang menggembalakannya justru bertahan sendirian.
Saya menyadari ironi ini sebagai mahasiswa peternakan. Tapi saya mengenalnya lebih dulu sebagai cucu dari seorang perempuan tua yang merawat ternak bukan demi bisnis, tapi demi hidup.
Di kampung saya, di sebuah lereng bukit kering di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, ada satu perempuan tua yang setiap pagi bangun sebelum matahari muncul. Rambutnya telah memutih, kulitnya keriput, tulangnya tak lagi kokoh. Tapi setiap hari, ia tetap pergi mencari rumput untuk dua ekor sapi dan seekor babi betina yang diikat di kebun kecil milik keluarga. Ia adalah nenek saya.
Di usianya yang lebih dari tujuh puluh tahun, ia memanggul rumput dari ladang jauh, menyeberangi sungai kecil, menyusuri jalan licin berbatu dengan sandal karet tipis. Ia tidak tahu apa itu konversi pakan, protein kasar, atau TDN (Total Digestible Nutrients). Ia tidak
pernah dapat pelatihan dari penyuluh atau dinas. Tapi ia tahu mana ternak yang sedang lesu, kapan sapi mulai gelisah karena birahi, kapan babi rewel karena kehausan, atau kapan garam batu perlu ditabur agar nafsu makan kembali. Peternakan, bagi nenek saya, bukan soal teknologi atau kebijakan. Ia adalah kehidupan: sepetak kebun, seikat rumput, dan kesetiaan yang ia beri setiap hari.
Saya belajar ilmu peternakan di kampus. Kami diajari manajemen ternak, vaksinasi, konversi pakan, biosekuriti, hingga sertifikasi produk. Tapi ruang-ruang akademik itu jarang membicarakan orang-orang seperti nenek saya atau puluhan ribu peternak kecil lain di luar Jawa. Padahal, lebih dari 90% usaha peternakan di Indonesia dikelola oleh peternak rakyat skala kecil. Sebagian besar hanya memelihara 2–3 ekor sapi, kambing, atau ayam, dengan cara tradisional dan modal sangat terbatas.
Di balik setiap grafik populasi ternak nasional, ada wajah manusia yang nyaris tak pernah tercatat. Di balik setiap daging yang tersedia di pasar, ada tubuh-tubuh renta yang berjalan jauh demi rumput dan air. Tapi mereka nyaris tidak disebut dalam dokumen perencanaan pembangunan. Bahkan dalam distribusi bantuan pun, peternak kecil sering tercecer entah karena tak punya KTP aktif, karena tak terdata, atau karena tak tahu cara mengakses bantuan itu.
Pemerintah memang mengalokasikan anggaran besar: pada 2025, misalnya, ada tambahan Rp2,1 triliun untuk pengembangan sapi perah dan pedaging. Tapi mari kita jujur: siapa yang benar-benar menggembalakan ternak-ternak itu? Bukan pejabat, bukan staf pusat. Yang mengikat sapi di kebun dan menumbuk daun untuk pakan adalah peternak rakyat.
Mereka memiliki pengetahuan lokal yang tak tertulis tentang musim, penyakit, bahkan tingkah laku hewan yang sering kali tak kalah penting dari buku teks. Tapi mereka pula yang sering terpinggirkan oleh sistem yang terlalu teknokratis dan berorientasi proyek. Kebijakan publik kadang terasa lebih ramah kepada ternak dibanding manusia yang menggembalakannya.
Subsidi pakan baru terasa ketika harga jagung sudah melewati Rp9.000/kg dan itu pun hanya sesaat. Program asuransi ternak disubsidi hingga 80%, tapi akses jaminan sosial untuk peternaknya sendiri? Masih terbatas. Di sisi lain, Indonesia tetap mengimpor 238.430 ton daging sapi pada 2023 senilai lebih dari Rp13 triliun. Di tengah banjir daging murah itu, daya tawar peternak rakyat melemah, biaya produksi melonjak, dan pasar makin berat sebelah. Akibatnya, peternak kecil seperti nenek saya terjepit di antara beban biaya dan ketidakpastian penghasilan.
Dalam sebuah refleksi, saya teringat kata-kata Frantz Fanon: “Bagi yang dijajah, tanah adalah sumber hidup dan martabat.” Mungkin bisa kita ubah sedikit: “Bagi yang dilupakan, ternak adalah sumber hidup sekaligus harga diri.” Karena di banyak daerah, ternak adalah “tanah terakhir” yang mereka miliki sumber penghidupan, identitas, dan harapan.
Tapi bagaimana martabat bisa tumbuh, kalau peternaknya justru terus dipinggirkan? Kalau ternak dianggap investasi strategis, tapi manusia yang merawatnya justru dianggap beban subsidi? Kita sering bicara ketahanan pangan, tapi melupakan ketahanan peternaknya sendiri. Kita ingin daging tersedia, tapi lupa bahwa yang merawat ternak itu sering tak bisa makan cukup. Martabat tumbuh dari perlakuan yang adil, dan itu tak akan mungkin tercapai kalau peternaknya terus-menerus disisihkan.
Ilmu peternakan yang tidak menyentuh manusia hanya akan menjadi keterampilan teknis. Mahasiswa peternakan harus menjadi jembatan antara laboratorium dan kebun rakyat. Kita
harus membawa etika ke dalam sistem produksi. Kita harus jujur menjawab: ya, ternak bisa sehat karena vaksinasi dan manajemen. Tapi peternaknya justru sakit karena biaya tinggi, tekanan pasar, dan perlindungan yang minim. Produksi boleh naik, tapi kalau peternaknya terus ditekan, siapa yang benar-benar diuntungkan?
Kita butuh paradigma baru: peternakan yang memanusiakan. Yang menempatkan kesejahteraan peternak sebagai tolok ukur utama. Peternakan yang tak hanya efisien secara teknis, tapi juga adil secara sosial. Paradigma yang tidak hanya mengejar target produksi, tapi juga memastikan keberlanjutan hidup peternak kecil. Yang mengakui bahwa pengetahuan lokal, seperti yang dimiliki nenek saya, adalah bagian sah dari ilmu peternakan.
Sudah tiga tahun saya belum pulang ke kampung. Kuliah, organisasi, dan hidup di kota membuat jarak dengan kebun nenek saya makin jauh. Tapi setiap kali saya duduk di kelas, mendengar dosen menjelaskan tentang sapi atau pakan, wajah nenek saya selalu muncul di benak. Bukan karena ia tahu teori animal welfare, tapi karena ia menjalani itu setiap hari dengan kesetiaan yang tak pernah diberi sertifikat.
Saya tak tahu apakah ia masih kuat memanggul rumput sejauh itu. Mungkin sapi-sapi itu sudah dijual untuk biaya kuliah saya. Tapi saya tahu satu hal: cinta dan ketabahan perempuan tua itu adalah alasan kenapa saya belajar peternakan hari ini.
Mungkin suatu hari saya bisa kembali ke kampung. Duduk di bawah pohon jambu di dekat gubuk sederhana, menatap kebun kecil yang dulu ramai oleh suara sapi. Dan saya ingin bisa berkata, kepada nenek saya dan pada diri saya sendiri bahwa ilmu yang saya bawa dari kota ini tak hanya berguna untuk grafik dan laporan, tapi juga untuk mengangkat wajah peternak: agar mereka tak lagi dipinggirkan di tanah yang mereka hidupkan
Penulis : Frigy De Quirino (Presidium Pendidikan dan Kaderisasi)