
[pmkribogor.org] Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah mahakarya alam tempat karang tumbuh bagai lukisan, ikan menari dalam harmoni, dan masyarakat adat hidup bersahabat dengan laut dan hutan. Tapi kini, keindahan itu diambang luka, digerus oleh nafsu tambang yang datang membawa jubah pembangunan.
Izin tambang nikel yang diberikan di wilayah Raja Ampat entah melalui pembiaran atau restu langsung adalah bentuk pengkhianatan terang-terangan terhadap konstitusi, logika lingkungan hidup, dan keberlangsungan budaya bangsa.
Apa gunanya slogan “Pembangunan Berkelanjutan” kalau kenyataannya pemerintah justru merusak kawasan konservasi demi logam ekspor? Nikel boleh penting untuk baterai dan kendaraan listrik dunia, tapi Raja Ampat tidak boleh jadi tumbal demi citra “energi hijau” yang palsu.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tampaknya lebih sibuk mengejar target produksi ketimbang mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seolah hanya jadi penonton yang tak kuasa bertindak tegas. Pemerintah daerah Papua Barat Daya seakan kehilangan visi bahwa warisan alam jauh lebih bernilai dari kontrak-kontrak jangka pendek.
Bahkan lebih parah, masyarakat adat yang selama ini menjaga tanah dan laut tak pernah diajak bicara. Seolah suara mereka tak punya nilai di hadapan kekuasaan dan uang.
Kebijakan ini tidak hanya salah secara moral, tetapi juga cacat secara hukum. Mari kita ulang kembali:
1. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui dan menghormati hak masyarakat adat.
3. UU 27/2007 tentang Wilayah Pesisir melarang tambang di pulau-pulau kecil.3
4. UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup menekankan prinsip kehati-hatian dan pencegahan kerusakan ekosistem.
Namun semua itu tampaknya hanya jadi hiasan dokumen, bukan panduan nyata dalam kebijakan. Ketika hukum bisa ditafsir semaunya dan alam dianggap milik yang bisa dijual, maka kita bukan sedang membangun bangsa, tapi sedang menggali kuburnya.
Jangan Biarkan Anak Cucu Melewati Kuburan Ekosistem
Kritik ini bukan soal menolak pembangunan, tapi soal menolak kebijakan bodoh yang merusak sumber daya tak tergantikan. Raja Ampat terlalu suci untuk dijadikan wilayah tambang. Ia harus dilindungi, bukan dilukai. Di sana, hidup bukan soal angka produksi, tapi soal harmoni manusia dan alam.
Jika pemerintah tetap membiarkan tambang masuk, maka jelas: mereka bukan membangun Indonesia, tapi menghancurkannya pelan-pelan.
Cukup sudah tanah Papua menjadi korban keserakahan berkedok pembangunan. Jika negara tak bisa melindungi surga terakhir ini, maka rakyat harus bersuara lebih keras lagi. Karena Raja Ampat bukan milik pejabat, bukan milik investor, dan bukan milik negara saja, ia adalah milik dunia, dan milik generasi yang belum lahir.
Penulis : Ferdinadus Kaki Rangga (Germas Bogor)